Terapi Client-Centered atau Person-Centered dirancang oleh Carl Rogers dengan sebutan nondirective counseling. Rogers meminimalkan pengarahannya dan membantu kliennya memperjelas persepsi mereka mengenai diri sendiri. Rogers meneliti tentang persepsi klien terhadap self-aktual dan self-idealnya. Reflection of feelings adalah teknik yang dilakukan terapis dalam memposisikan dirinya sebagai cermin bagi klien, agar klien dapat lebih mengenal dirinya, menerima diri sendiri, dan kemudian dapat mempersepsikan keadaannya sekarang.
Carl Rogers tidak ingin menjadikan pendekatan ini sekedar dogma, ia menginginkan pendekatan ini terus tumbuh, terbuka, dan mau menerima perubahan. Prinsip inilah yang menjadikan person centered mengalami empat periode perkembangan.
Periode tersebut adalah :
Periode ini berlangsung pada kurun waktu 1940-an. Carl Rogers
mengembangkan nondirective counseling sebagai reaksi dari pendekatan
directive dan terapi psikoanalitik tradisional.
Periode Kedua
Pada periode kedua ini, yang berlangsung sekitar tahun 1950-an,
pendekatan nondirective counseling diubah menjadi client centered
therapy sebagai refleksi penekanan pada klien daripada metode
nondirective. Periode kedua ini ditandai dengan bergantinya teknik
klarifikasi perasaan-perasaan kearah lebih fokus pada dunia
fenomenologis konseli.
Periode Ketiga
Periode ketiga ini berjalan antara tahun 1950 – 1970-an. Selama periode
ini Carl Rogers memusatkan kajiannya pada bagaimana kemajuan individu
dalam proses psikoterapi dengan memfokuskan studi apakah kualitas
hubungan konselor-konseli berbanding lurus dengan perubahan kepribadian.
Pada periode ini prinsip person centered therapy mulai dikenalkan pada
dunia pendidikan, yang dikenal dengan pendekatan pembelajaran student
centered teaching.
Periode Keempat
Periode ini berlangsung antara tahun 1980 – 1990-an. Periode ini
ditandai dengan ekspansi pendekatan ini dalam dunia pendidikan,
industri, kelompok, resolusi konflik, dan lebih luas lagi yaitu
upaya-upaya untuk pencapaian perdamaian dunia.
Beberapa poin yang bisa digunakan untuk menunjang perubahan kepribadian konseli dalam person-centered therapy adalah sebagai berikut :
1. Ada dua orang dalam kontak psikologis
2. Orang pertama disebut sebagai klien/ konseli yang berada pada tahap yang inkongruen, mudah dipengaruhi, dan cemas atau khawatir
3. Orang kedua yang dinamakan konselor adalah orang yang kongruen dan terintegrasi dalam hubungan tersebut
4. Konselor memberikan penghargaan positif tidak bersyarat pada konseli
5. Konseli melakukan pemahaman empati sesuai dengan kerangkan berpikir konseli tanpa harus terhanyut dalam dunia konseli dan berusaha untuk mengkomunikasikan empatinya tersebut pada konseli
6. Yang dikomunikasikan kepada konseli berupa empati maupun penghargaan positif tak bersyarat adalah komunikasi yang sesedikit mungkin bisa diterima oleh konseli
Dalam konseling menggunakan metode person-centered therapy, yang harus ditunjukkan konselor pada konseli adalah tiga hal yang paling utama, yaitu :
1. Unconditional Positive Regard(Penerimaan Positif tanpa Syarat/Acceptance)
Unconditional positive regard adalah suatu keadaan yang sama dengan acceptance, menghormati serta menghargai. Meliputi penegasan pada nilai-nilai konseli sebagai bagian dari manusia atau organisme yang berpikir, merasa, percaya dan makhluk yang menyeluruh, diterima oleh konselor dalam kondisi apapun tanpa syarat tertentu. Person-centered therapy percaya jika konselor mampu menerima konseli apa adanya, maka konseli akan mulai berpikir mengenai siapa dirinya sebenarnya, dan apa yang sebenarnya dia inginkan. Dengan menunjukkan sikap acceptance seperti apapun konselinya, maka konselor mengajak konseli untuk mulai menerima dirinya sendiri.
2. Empathy (Empati)
Empati adalah suatu keadaan di mana konselor berusaha untuk ikut merasakan apa yang konseli rasakan, ikut masuk ke dalam dunia konseli, ikut melihat dan mengalami apa yang dilihat dan dialami oleh konseli tetapi tidak ikut hanyut dalam dunia atau kerangka berpikir konseli tersebut.
Macam-macam empati :
a. Empati intelektual, termasuk melihat dunia dari perspektif konseli dalam lingkup intelektual
b. Empati emosi, terjadi ketika secara alamiah atau spontan, konselor mulai merasakan emosi dalam merespons dunia konseli dalam lingkup emosi
c. Empati imajinasi, termasuk bertanya pada diri sendiri “Bagaimana jika saya berada pada posisi konseli saya?”
3. Congruence (Kongruen/ Asli/ Genuine)
Kongruen didefinisikan sebagai ke otentikan atau keaslian dari diri konselor. Kongruen yang dilakukan oleh konselor adalah benar-benar suatu kenyataan, keterbukaan, dan kejujuran. Kongruen diartikan pula bahwa konselor mampu mengekspresikan kedua hal baik positif maupun negatif pada konseli.
1. Ada dua orang dalam kontak psikologis
2. Orang pertama disebut sebagai klien/ konseli yang berada pada tahap yang inkongruen, mudah dipengaruhi, dan cemas atau khawatir
3. Orang kedua yang dinamakan konselor adalah orang yang kongruen dan terintegrasi dalam hubungan tersebut
4. Konselor memberikan penghargaan positif tidak bersyarat pada konseli
5. Konseli melakukan pemahaman empati sesuai dengan kerangkan berpikir konseli tanpa harus terhanyut dalam dunia konseli dan berusaha untuk mengkomunikasikan empatinya tersebut pada konseli
6. Yang dikomunikasikan kepada konseli berupa empati maupun penghargaan positif tak bersyarat adalah komunikasi yang sesedikit mungkin bisa diterima oleh konseli
Dalam konseling menggunakan metode person-centered therapy, yang harus ditunjukkan konselor pada konseli adalah tiga hal yang paling utama, yaitu :
1. Unconditional Positive Regard(Penerimaan Positif tanpa Syarat/Acceptance)
Unconditional positive regard adalah suatu keadaan yang sama dengan acceptance, menghormati serta menghargai. Meliputi penegasan pada nilai-nilai konseli sebagai bagian dari manusia atau organisme yang berpikir, merasa, percaya dan makhluk yang menyeluruh, diterima oleh konselor dalam kondisi apapun tanpa syarat tertentu. Person-centered therapy percaya jika konselor mampu menerima konseli apa adanya, maka konseli akan mulai berpikir mengenai siapa dirinya sebenarnya, dan apa yang sebenarnya dia inginkan. Dengan menunjukkan sikap acceptance seperti apapun konselinya, maka konselor mengajak konseli untuk mulai menerima dirinya sendiri.
2. Empathy (Empati)
Empati adalah suatu keadaan di mana konselor berusaha untuk ikut merasakan apa yang konseli rasakan, ikut masuk ke dalam dunia konseli, ikut melihat dan mengalami apa yang dilihat dan dialami oleh konseli tetapi tidak ikut hanyut dalam dunia atau kerangka berpikir konseli tersebut.
Macam-macam empati :
a. Empati intelektual, termasuk melihat dunia dari perspektif konseli dalam lingkup intelektual
b. Empati emosi, terjadi ketika secara alamiah atau spontan, konselor mulai merasakan emosi dalam merespons dunia konseli dalam lingkup emosi
c. Empati imajinasi, termasuk bertanya pada diri sendiri “Bagaimana jika saya berada pada posisi konseli saya?”
3. Congruence (Kongruen/ Asli/ Genuine)
Kongruen didefinisikan sebagai ke otentikan atau keaslian dari diri konselor. Kongruen yang dilakukan oleh konselor adalah benar-benar suatu kenyataan, keterbukaan, dan kejujuran. Kongruen diartikan pula bahwa konselor mampu mengekspresikan kedua hal baik positif maupun negatif pada konseli.
Sumber :
http://herjuno-tisnoaji.blog.ugm.ac.id/2012/03/15/client-centered-therapy/
http://beaprofessionalcounselor.blogspot.com/2011/02/person-centered-therapy-terapi-berpusat.html
Puti Alam Intan (15510425)
Puti Alam Intan (15510425)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar